Betapa nikmatnya hidup kala mampu membuat orang-orang tercinta tetap
tersenyum. Bahagia, damai. Hidup menjadi begitu bergairah. Seberat apa
pun beban kehidupan, demi senyum, akan terasa ringan.
Sayangnya, tidak semua orang mampu mencetak senyum untuk waktu yang
lama. Selalu saja ada badai yang membuat jalan hidup tak lagi seperti di
jalan tol. Muncullah kerikil-kerikil masalah. Bahkan, koral-koral
konflik yang siap mengoyak senyum untuk waktu yang cukup lama.
Seperti itulah bayang-bayang rasa Pak Deden. Sepuluh hari sudah ia
nyaris tak mendapati senyum-senyum yang biasa hinggap dalam
pandangannya. Senyum orang-orang yang ia cintai. Semua hampir terkubur
bersamaan dengan kecelakaan mobil yang ia alami.
Sejak itulah, Pak Deden tak lagi bisa menjalankan bisnisnya. Dokter
pernah bilang kalau ia baru bisa benar-benar sembuh dari patah tulang
kaki dan tangan sekitar empat hingga lima bulan. Itu pun dengan catatan.
Ia tak lagi bisa tampil seperti dulu. Ada cacat tubuh yang harus ia
terima untuk waktu yang cukup lama. Mungkin tahunan. Atau, sama sekali
tak pernah sembuh.
Masalahnya, bukan bertumpu pada sakit dan cacat. Insya Allah, Pak
Deden menerima itu sebagai musibah. Ia harus terima ketentuan Allah itu
dengan lapang dada. Tanpa protes. Apalagi buruk sangka.
Tapi, bisnis percetakan yang baru beberapa bulan ia geluti menanti
hak. Sebagian besar modalnya berasal dari pinjaman. Jumlahnya lumayan
besar, hampir dua ratus juta rupiah. Gimana mungkin bisa ia kembalikan,
kalau bisnis itu tak lagi bisa ia tangani. Padahal, ia sudah terlanjur
janji kalau modal itu bisa ia kembalikan dalam waktu setahun. Dan
tenggat itu tinggal beberapa bulan.
Belum lagi buat biaya pengobatan. Mobil satu-satunya sudah terjual
buat biaya rumah sakit. Pak Deden merasa tak ada lagi yang bisa ia
uangkan, kecuali motor dan dua sepeda anak-anaknya. Kalau rumah tak
mungkin. Soalnya tanah dan rumah berukuran seratus meter itu masih milik
orang tua.
Pak Deden benar-benar bingung. Pusing. Kalau saja bukan karena
keimanan, ia ingin lari saja dari dunia ini. Ia ingin pergi jauh sekali.
Dan tak akan pernah kembali.
Sesekali ia menatap lekat isteri dan dua anaknya. Setiap kali tatapan
itu jatuh ke wajah mereka, pantulan sedih dan susah mengoyak hati Pak
Deden. Nyaris, tak ada lagi senyum menghias wajah manis isterinya. Tak
ada lagi senyum canda anak-anaknya yang masih sekolah dasar. Semuanya
seperti tersulap, hilang dalam sekejap.
Dua minggu yang lalu, pemandangan itu tak pernah terbayang Pak Deden.
Masih segar dalam ingatanya, bagaimana di hari Ahad terakhir itu ia
berlibur ke kawasan puncak. Indah. Keindahan alam itu belum seberapa
dibanding dengan pemandangan senyum-senyum yang terukir dari balik bibir
isteri dan anak-anaknya. Kedengarannya begitu renyah. Membuat arena
hidup jadi begitu berwarna. Sebuah harga yang teramat mahal untuk sebuah
keluarga.
Masih terbayang bagaimana Pak Deden berlari-lari mengejar si bungsu
yang baru bisa bersepeda. Larinya kian bersemangat saat sang anak
mengeluarkan tawa riang. “Terus…, goes terus, Nak!” suara Pak Deden
sambil terus berlari dengan kakinya yang masih sehat.
Masih segar dalam ingatan Pak Deden bagaimana ketika ia pulang
membawa televisi baru. Tak seorang pun yang tak senyum kala itu. Sambil
berjingkrak kecil, kedua anaknya menemani sang ayah membuka kardus. Saat
itu juga, isteri tercintanya menghampiri. “Lancar bisnisnya, Yah?”
suara sang isteri sambil ikut melihat. Perlahan, Pak Deden membuka
pembungkus televisi baru itu dengan kedua tangannya yang sehat.
Kini, kaki dan tangannya tak lagi seperti dulu. Jangankan mampu
membuahkan senyum, menggerakkannya pun sudah susah. Justru, kaki dan
tangannya menjadi bahan tangis orang-orang yang ia cintai itu.
Andai, ia tak terlalu ngebut waktu itu. Andai ia menuruti nasihat
isterinya. Andai…. “Astaghfirullah,” suara Pak Deden beriring nafasnya
yang mulai tak beraturan. Ia berusaha menutup rapat pintu-pintu setan.
Semua kehendak Allah. Akan selalu ada kebaikan di balik itu. Lagi-lagi,
Pak Deden beristighfar. Mungkin, ada salah yang tak ia sadari.
Mata Pak Deden menyapu sekeliling ruangan. Sepi. Hari menjelang siang
seperti itu memang biasa sepi. Kecuali, isterinya yang saat ini mulai
mengajar. Kedua anaknya masih sibuk-sibuk di sekolah. Ah, kayak apa air
muka mereka saat ini. Pak Deden mencoba menangkap kesan. “Semoga mereka
tetap tersenyum. Semoga, hidayah Allah memberkahi senyum-senyum hati
mereka. Semoga, masih banyak senyum di balik jendela lusa,” ucap Pak
Deden dalam hati.
Menatap senyum memang tak ubahnya seperti menikmati indahnya bunga.
Segar, menenangkan. Namun, bukan salah angin bertiup kencang. Dan bukan
dosa angin yang membuat bunga terkoyak. Kitalah yang mesti cermat
menggali. Dengan cara apa lagi, bunga senyum lain bisa hadir
kembali.(nh)
Izin Copas yaa,
BalasHapusJazakumullah...