Banyak sekali manusia yang tak besyukur kepada Allah SWT, jangankan
manusia sebagai makhluk social, yang hidup bersama dengan orang lain,
manusia sebagai individu atau perorangan saja banyak yang tak bersyukur,
tak bersyukur, yang ada keluh kesah saja dan seringkali bahkan yang
dibadingkan dengan orang lain.
Dengan kalimat yang mungkin sering anda dengar’ dia sih enak” kata A
kepada B. “ dia si enak” kata B kepada C, “dia sih enak “ kata C kepada D
begitu seterusnya, sehingga yang terjadi “ enak atau nikmat itu selalu
ada pada kerjaan orang lain, rumah orang lain, mobil orang lain, harta
orang lain dan seterusnya.
Sedangkan yang ada pada dirinya,” tak ada enak-enaknya, kurang terus
dan lahirlah keluhan terus”, dengan demikian akan melahirkan sikap yang
tak mau bersyukur, padahal syukur adalah kaca mata terindah yang
dimiliki oleh manusia manapun, jika mau memakainya.
Syukur adalah kaca mata yang paling nikmat, dengan syukur pemandangan
menjadi lebih indah. Bersyukur kepada Allah SWT, dimana dan kapanpun
kita berada, karena telah begitu banyak nikmat Allah yang telah
diberikan kepada kita. Jika kita mau menghitung, banyaknya tak tehingga.
Jika dibandingkan dengan ujian dan cobaan, nikmatNya masih lebih
banyak, karuniaNya lebih banyak lagi.
Sehatmu lebih banyak dari sakitmu, nikmat yang kamu terima lebih
banyak dari cobaan, rezekimu yang dating lebih banyak dari rezkimu yang
hilang, yang diberikanNya lebih banyak dari yang diambilNya. Kesempatan
yang diberikan padamu, lebih banyak dari kesempitan yang menimpamu.
Kenyang kau rasakan sesudah makan, lebih banyak dari laparmu.
Kekayaan yang kau dapat lebih banyak dari kimiskinan yang kau
peroleh, itupun kalau kau miskin. Kesenangan yang kau peroleh, lebih
banyak dari kesusahan yang menimpamu. Hari-hari dimana kau punya uang di
sakumu, lebih banyak dibandingkan hari-harimu tanpa uang atau di dompet
kosong sama sekali.
Begitu juga tentang kebahagiaan yang kamu rasakan dalam tiap harinya,
lebih banyak dari deritamu, itupun kalau kau menderita. Hari-harimu
tanpa celaan dan hinaan lebih banyak dari-hari-hari ketika kau di cela
atau di hina orang lain, itupun kalau kau merasa di cela atau merasa di
hina, jika kau cuek dengan celaan dan hinaan, karena kau tak mudah
tersinggung, maka celaan dan hinaan apapun bentuknya tak membuatmu sakit
hati atau tersinggung.
Kalau terus ditelesuri antara kelebihan dan kekurangan yang kau
terima, akan ditemukan daftar sangat panjang, sepanjang nikmatNya yang
telah kau terima, yang begitu banyak, yang tak sanggup kau
menghitungnya. Dari daftar tersebut akan ditemukan begitu banyak
kelebihan yang kau terima dibandingkan kekurangan.
Maka dengan kaca mata syukur, hidup akan menjadi lebih bahagia, lebih
tenang dan lebih berlapang dada, karena mudah berterima kasih terhadap
apapun yang diterimanya dan bersabar bila yang diterimanya tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan atau yang di inginkan. Dan firmanNya, “ Bila
kau bersyukur atas nikmatKu, maka akan Aku tambahkan nikmat itu padamu,
namun jika kau kupur atas nikmatKu, ingat, azabKu sangat pedih “ ( QS
Ibrohim : 7 ).
Ketika kau merasa sedang menderita, coba ingat kembali kebahagiaan
yang pernah kau peroleh. Ketika kau merasa sedih, coba kembali menengok
kebelakang, apakah kesedihan itu lebih banyak dari tawa dan senyumu?
Begitu juga saat kau sakit, hitunglah saat sehatmu. Jika ujian datang
berupa kesusahan atau derita, bukankah kau sering kali lulus
menghadapinya? Ketika kau sendirian tanpa teman, coba lihat kembali
ketika kau sedang duduk bersenda gurau dengan teman-temanmu, mana yang
lebih banyak?
Ketika kritikan datang mungkin bertubi-tubi di suatu saat, coba
hitung berapa pujian yang telah kau terima sebelumnya dan seandainya kau
tidak pernah menerima pujian, apakah lantas kau surut kebelakang,
menarik diri dan hidup di goa-goa yang sunyi sepi atau kau melarikan
diri dari “dunia” ramai. Kalau itu yang kau lakukan, mari perhatikan
yang satu ini : “ Manusia yang hidup bersama orang lain dan bersabar
terhadap kritikan mereka, itu lebih baik dibandingkan manusia yang
menyendiri, takut akan kritik dan tenggelam di telan sang waktu “
Ketika suatu saat tiba-tiba saja kau merasa kehilangan, kecopeten,
kecurian dan sebagainya, coba kau bandingkan dengan harta yang telah kau
terima, mana yang lebih banyak? Begitu juga bila saat kau menerima
berita kematian, entah teman, sahabat, saudara atau yang lainnya,
bandingkan lagi dengan berita yang kau terima, berupa kelahiran, ulang
tahun dan sebagainya, mana yang lebih banyak? Dan kalaupun kau mati pada
suatu saat nanti, coba hitung berapa kehidupan yang sudah kau terima
setiap harinya, bukankah jika kita masih bisa bangun dari tidur di pagi
hari, itu berarti kita telah menerima kehidupan kembali? Bukankah
hakekat hidup kita sehari semalam hanya 24 jam?
Bukankah itu berarti kehidupan yang telah diberikanNya begitu banyak,
sebanyak jam-jam yang telah kita lewati, nah sedangkan saat kita mati,
mati hanya sekali saja. Dan sat kematian tiba, itupun bukan sesuatu yang
membuat ketakutan yang sangat luar biasa, bukankah pada saat itu kita
akan bertemu pada yang telah menciptakan kita , yang telah memberikan
hidup pada kita, bukankankah kita milikNya, titipanNya?
Nah bila yang punya akan mengambil sesuatu yang memang miliknya,
apakah kita bisa melarangnya, menggugatnnya atau memperotesnya? Bagitu
juga saat Dia akan mengambil roh yang telah dititipkan pada kita, nah
kalau Dia mau ambil titipannya, apakah kita juga mau protes, mau
melarang, mau membantah atau mau mengguggatnya? Seandainya kita bisa
protes, melarang, membantah atau menggugat, bisakah sunnatullah menjadi
hilang? Tentu saja tidak, ketentuanNya akan berlaku.
Kembali kepada syukur, jika kau ingkari setiap apa yang telah kau
terima betapapun kecilnya, itu artinya kau kupur nikmat. Atau kau mau
mendustai setiap rezeki yang kau terima? Jika itu yang kau lakukan,
kupur nikmat pantas kau sandang. Tentu saja kita tak mau dikatakan
sebagai hambaNya yang kupur nikmat. Dan sebenarnya Allah SWT telah
menantangmu dengan firmanNya dalam surat Ar Rahman mulai dari ayat ke 13
: “ Nikmat Tuhan yang mana lagi yang mau kau dustakan? “
Ayat itu di ulang-ulang dalam firmanNya, tak kurang dari 31 kali,
hanya dalam satu surat saja! Seakan-akan Tuhan ingin membuka mata hati
kita lebar-lebar, untuk melihat sebanyak-banyak karuniaNya, nikmatNya.
Jika hal tersebut tak juga di sadari, manusia macam apa kita? Begitu
banyak nikmatNya, sampai tak terhitung…, eh masih saja mengingkari,
masih saja kupur terhadap nikmatNya, masih saja merasa kurang, masih
saja mengeluh yang berkepanjangan, tak habis-habisnya, tak
henti-hentinya mengeluh , mengeluh dan mengeluh.
Seharusnya di lidah kita penuh dengan rasa syukur, alhamdulillah,
alhamdulillah, alhamdulillah yang tak habis-habisnya, itu semestinya,
mengapa? Karena saat kita bersyukur itupun sudah menggunakan karuniaNya,
nikmatNya. Ayo, siapa yang berani bilang lidahnya, mulutnya, suara
syukur yang keluar dari mulutnya adalah ciptaannya sendiri? Ayo siapa
yang berani bilang, bahwa ketika kata syukur itu keluar itu, karyanya
sendiri? Bukankah kata “ Alhamdulillah” itu ajaranNya, firmanNya? Ayo
siapa yang berani bilang bahwa ketika dia bersyukur itu terlepas dari
kehendak Allah SWT?
Sebagai tanda syukur kepadaNya, kitapun diharuskan untuk terus
menerus berbuat pada sesama manusia ciptaanNya, juga kepada hewan dan
tumbuhan. Rasa syukur yang paling baik adalah kita menjadi rakhmat bagi
seluruh alam, rakhmatan lil alamin, sebagaimana dicontohkan rosulullah
SAW.
Apakah yang harus kita lakukan sekarang dan seterusnya? Yang kita
lakukan adalah banyak bersyukur atas nikmatNya, banyak bersyukur atas
rejekiNya, banyak bersyukur atas karuniaNya, banyak bersyukur atas
ciptaanNya , banyak bersyukur atas lingkungan yang telah diciptakanNya,
banyak bersyukur atas segala-segalanya. Semoga kita semua menjadi
hamba-hambaNya yang pandai bersyukur kepadaNya.
Bila setelah menjadi uraian di atas, masih saja timbul rasa keluh
kesah, dan selalu merasa diri masih saja kurang, dan tak menghargai apa
yang sudah dimiliki, mintalah petunjuk kepada Allah SWT, mohon kepadaNya
agar diberikan hati, lidah, mata, telinga dan seluruh anggota tubuh
untuk pandai bersyukur kepadanya, karena dengan ucapan yang paling
sederhana dari syukur saja itu sudah ibadah!
Ya mengucapkan “ alhamdulillah “ saja itu sudah ibadah, ringan
mengucapkannya, tapi timbangan amalnya berat. Dan jangan lupa gratis,
tak perlu alat apapun untuk mengucapkannya, itu bagi orang yang beriman,
tapi yang kupur nikmat, walaupun mengucapkan “alhamdulillah” ringan,
berpahala dan gratis, tetap saja tak mau bersyukur, tak mau
mengucapkannnya, apa lagi untuk mengamalkannya, jauh panggang dari api.
Moskow, 7 Juni 2013.
0 komentar:
Posting Komentar