Oleh; Syaripudin Zuhri
Menuntut ilmu wajib, mengajar yang bagi sudah punya ilmu juga
wajib, mencari nafkah wajib baik perorangan atau masyarakat, baik yang
masih bujangan, apa lagi yang sudah berumah tangga, jelas mencari nafkah
adalah kewajiban, terutama buat suami, sedangkan istri tak ada
kewajiban untuk menacari nafkah, karena mencari nafkah itu memang
kewajiban suami. Lalu bagaiman kalau ada istri yang ikut mencari kerja,
bahkan menjadi “tulang punggung” rumah tangga?
Ya sah-sah saja, asal ada kesepakatan dalam rumah tangga itu sendiri,
yang jelas kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban suami, bukan
istri. Tapi karena di jaman sekarang begitu susah mencari pekerjaan bagi
seorang laki-laki, bisa saja sang istri “membantu” suami,
menggantikannya di dalam mencari nafkah.
Dan kewajiban suami mencari nafkah bernilai ibadah yang tinggi, ingat, kata wajib tadi, dalam kontek fiqih, adalah sebuah pekerjaan yang bila dikerjakan mendapat pahala, bila ditinggal akan berdosa.
Jadi seorang suami bila memang mampu bekerja, tapi tidak mau bekerja
atau tak mau mencari nafkah, jelas berdosa. Lain soal bila sudah
mencari pekerjaan, dan belum menemukannya, karena memang begitu sulit
mencari pekerjaan, maka tak ada alasan untuk menuduhnya berdosa.
Membiayai rumah tangga wajib, memberikan nafkah lahir batin pada
istri wajib dan seterusnya. Itu semua kewajiban, jadi kalau sementara
ini tidak dapat semua kewajiban kau penuhi, karena situasi dan kondisi,
ya biasa saja. Karena keterbatasan tenaga dan waktu. Namun bersyukurlah bahwa kita masih bergerak dari wajib ke wajib.
Pergi dari satu kewajiban menuju ke kewajiban yang lainnya, nah kenapa
ragu-ragu? Kenapa takut dan pesimis ? Ayo terus bergerak dan bergerak.
Bahkan seringkali orang yang sudah memenuhi kewajiban dengan bekerja,
pada waktu tertentu pekerjaan begitu banyak, seakan-seakan tak
habis-habisnya, baru satu pekerjaan diselesaikan, muncul lagi pekerjaan
yang lain, benar-benar pekerjaan seakan-akan bertumpuk-tumpuk menjadi
satu. Sehingga timbul keluhan” waduh banyak sekali pekerjaanku hari
ini”.
Kalau itu yang terjadi, maka segera lihat pada orang-orang yang
sedang mencari pekerjaan, yang mungkin saja sudah berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun setelah menamatkan sekolah atau kuliahnya, tak juga
bertemu dengan pekerjaan yang dicarinya. Atau lihatlah orang yang belum
bekerja dan sedang melamar pekerjaan ke berbagai instasi pemerintah atau
ke perusahaan-perusahaan swasta, sudah puluhan bahkan ratusan surat
lamaran kerja dikirimkan, tapi belum juga ada jawaban, belum juga ada
panggilan,dan nyaris putus asa.
Atau lihat juga ada yang tak cukup dengan melamar pekerjaan melalui
surat lamaran yang dikirim melalui kantor pos, atau dikirim melalui
email, tapi langsung membawa lamaran ke tempat-tampat atau kantor-kantor
pemerintah juga ke perusahaan-perusaan swasta, berpuluha atau mungkin
beratus kantor sudah didatangi, tapi yang ditemukan di muka kantor atau
perusahaan adalah tulisan besar-besar” TAK ADA LOWONGAN”.
Dan lebih eronis lagi, sekarang ini melamar pekerjaan menggunakan
“pihak ketiga” atau yayasan, entah dari mana peraturan itu dibuat,
melamar pekerjaan kok pakai “pihak ketiga”, dan itupun bukan grstis,
tapi ada fee yang harus dibayar! Aneh, orang bisa langsung melamar
pekerjaan ke kantor atau perusahaan, tapi justru pakai “pihak ketiga”,
mengapa harus demikian? Dan itu terjadi di era reformasi sekarang ini,
padahal dulu-dulunya tak demikian, mengapa harus ada “pihak ketiga”,
atau perantara? Apakah yang mencari kerja tak bisa jalan sendiri, tak
bisa mengirim surat sendiri, atau tak bisa mengemailkan sendiri?
Oke kita kembali kepada kewajiban, yang harus dilaksanakan oleh
siapapun, ya tentu saja yang sudah dewasa, walau terkadang kita melihat
betapa banyak anak-anak yang seharusnya belum berkewajiban mencari
nafkah, tapi karena situasi dan kondisi perekonomian keluarganya yang
tak mendukung, mereka terpaksa bekerja, membanting tulang untuk
keperluan dirinya dan bahkan bisa juga untuk keluarganya, ironis sekali,
anak-anak yang harusnya menuntut ilmu, tapi terpaksa ada di lapangan
pekerjaan.
Dengan melihat sepintas keaadaan ini, maka orang sedang “galau”
karena begitu banyak pekerjaannya atau pekerjaannya bertumpuk, bahkan
seperti tak punya waktu lagi untuk hal-hal yang lain atau seperti
dikejar-kejar pekerjaan yang datang berubi-tubi, maka bersykurlah: “Alhamdulillah masih punya pekerjaan
Alhamdulillah masih ada yang dikerjakan
Alhamdulillah masih punya waktu untuk bekerja
Alhamdulillah masih diberikan pekerjaan
Alhamdulillah masih banyak pekerjaan
Alhamdulillah masih dapat pekerjaan”.
Mangapa harus Alhamdulilah, sedangkan pekerjaan itu begitu banyak,
seperti air bah yang datang melimpah ruah, tak kurang-kurang, tak ada
habis-habisnya? Ya itu tadi, bandingkannya dengan dengan orang-orang
yang tak punya pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang masih
mencari pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang sudah tak punya
pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang sudah ke sana ke mari
menacri pekerjaan, tapi belum juga menemukan pekerjaan yang dicarinya,
begitu seterusnya.
Jadi kalau banyak pekerjaan, bukan keluhan yang datang, tapi rasa
syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki berupa pekerjaan. Nah
bukankah waktu sebelum bekerjaan, yang dicari pekerjaan, lalu mengapa
harus mengeluh ketika pekerjaan sudah didapat? Mengapa harus mengeluh
ketika begitu banyak pekerjaan datang?
Jangan lupa, ada yang sedang mencari pekerjaan, satupun belum dapat,
nah ini sudah punya pekerjaan dan dapat pekerjaan banyak sekali,
bukankah patut disyukuri? Bukan malah keluhan yang datang. Kalau keluhan
yang datang, ingat sabda nabi yang bunyi bebasnya seperti ini” Jika urusan dunia lihat ke bawah, kalau urusan akherat lihat ke atas” Dengan demikian tak akan mudah mengeluh, mengapa?
Coba lihat di sana itu, orang-orang yang berada di kolong-kolong
jembatan, yang berumah di tempat pembungan akhir sampah, yang tidak
punya rumah, yang “beratap langit dan beralas bumi”, dan itu bukan hanya
di Indonesia, di Jakarta! Tapi juga ada di Rusia, di Moskow! Jangan
dikira di negara maju seperti Rusia tak ada orang miskin, jangan dikira
orang di Moskow kaya semua, tida!. Yang miskin dan yang kaya ada di
mana-mana, sama saja.
Mungkin tak terbayang oleh anda, ketika ada orang yang mengumpulkan
minuman ringan kalengan yang dikumpulkan pada satu kaleng minuman
lainnya untuk di minumnya! Dan itu bukan terjadi di Jakarta, tapi di
Moskow, Rusia, di negara super power, di negara yang sudah punya stasiun
ruang angkasa Mir! Tapi kemiskinan seperti itu ada, ini bukan cerita
omong kosong, tapi saya lihat sendiri! Makanya tak pernah terlupa,
begitu membekas di otak ini.
Kembali pekerjaan, kembali kepada kewajiban. Jadi sesibuk apapun saat
bekerja, syukurilah, almdulillah! Karena dengan rasa syukur tadi, akan
ditambah lagi karunia Allah pada kita! Seperti yang difirmankan Allah
SWT dalam surat Ibrohim ayat:7: “ Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat kepadamu, tatapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku) , maka pasti azab-Ku sangat pedih”.
Itu janji Allah SWT, dan Allah tak pernah mengkari janjiNya, coba
itu, apa tidak enak? Kalau bersyukur di tambah nikmat itu, tapi kalau
kupur nikmat, baru diancaman saja, tak langsung dilaksanakan, Kalau
bersyukur langsung ditambah nikmat itu, apa buktinya? Ya syukur itu
sendiri, karena batapa banyak orang yang diberi nikmat, tapi tak
bersyukur kepadaNya! Sedangkan orang yang bersyukur selain ditambah nikmat Allah kepadanya, juga mendapat pahala, jadi dapat doble sekaligus, asyikan!
0 komentar:
Posting Komentar