Saya duduk di ujung gerbong, tempat untuk orang-orang khusus. Di
setiap kereta di Jepang, ada bangku khusus untuk orang tua, ibu hamil,
orang sakit atau yang cedera berat, dan ibu-ibu yang membawa anak kecil.
Suatu wujud kepedulian pemerintah Jepang terhadap warganya yang lemah.
Inilah tempat pavorit saya yang senantiasa membawa dua balita kala
berpergian. Beberapa meter di sebelah kanan saya, duduk juga seorang ibu
muda dengan dua anak balitanya. Usianya sama dengan usia anak-anak
saya. Yang besar sekitar tiga atau empat tahun, dan yang kecil sekitar
satu tahun. Dua anak yang lucu dan menggemaskan bagi yang melihatnya.
Anak pertamanya duduk dengan manis di samping sang ibu, sedang yang
lebih kecil duduk dipangkuan ibunya.
Suasana tenang saat itu, sampai tiba-tiba, ”Dame Yo!!”* Suara
hardikan terdengar dari bangku ibu tadi. Saya dan beberapa orang
penumpang menoleh ke arahnya. Balita satu tahunnya sedang berusaha
memainkan kalung sang ibu. Mungkin ia bosan dengan perjalanan
panjangnya. Anak itu diam sebentar. Beberapa saat kemudian kembali
mengajak sang ibu bermain. “Dame!! Duduk yang baik!!” Kali ini
suara bentakan lebih keras terdengar. Sang ibu terlihat lelah dan ingin
memejamkan matanya, tetapi terganggu dengan tingkah sang balita. Kali
ini anak itu agak lama menghentikan aksinya. Tapi kemudian ia kembali
berusaha memainkan kalung ibunya. “ Naoko chan*, jangan
mengganggu!!!” kali ini sang ibu benar-benar marah. Dengan kasar Ia
meletakkan balitanya di sampingnya, di dekat sang kakak. Anaknya
menangis keras, dan berusaha untuk kembali ke pangkuan ibunya. Dengan
kasar ditepisnya tangan anak itu. Ternyata sang kakak juga berusaha
membantu ibunya dengan menekan tubuh adiknya ke belakang. Tangis anak
itu semakin keras. Tapi sang ibu tetap tak mau mengangkatnya. Dan tak
mencoba menolongnya dari tekanan sang kakak. Lama anak itu menangis,
sampai akhirnya lelah dan tertidur.
Saya menahan nafas selama episode itu berlangsung. Ada rasa nyeri di
dada melihat seorang anak usia satu tahun yang bosan, dan ingin mengajak
main sang ibu, tetapi harus kecewa dengan kekasaran yang diterimanya.
Ah, seringkah sang anak mendapat perlakuan kasar tersebut? Atau saat itu
adalah situasi khusus yang mebuat sang ibu tidak ingin diganggu oleh
tingkah sang anak? Sebagai ibu dari dua anak, saya juga bisa memahami
kelelahannya dalam menyiapkan perjalanan dan mengurus anak-anak. Tetapi
memperlakukan anak usia satu tahun dengan sangat kasar adalah satu hal
yang tidak bisasaya terima.
Sering juga saya melihat hal-hal semacam itu. Tidak hanya di Jepang,
di Indonesia pun sering saya menyaksikan orang tua yang dengan tega
membentak, mencubit atau memukul anaknya yang masih kecil. Bahkan kadang
kala hukuman itu tak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat sang
anak. Meskipun sang anak sama sekali tidak tahu bahwa itu suatu
kesalahan. Di benak sang anak mungkin hanya ingin bermain atau
bereksplorasi. Sesuatu yang wajar di dunia anak-anak.
Saya teringat kisah baginda Rasulullah. Ketika beliau sedang menimang
seorang bayi, lalu bayi itu buang air kecil di baju Rosulullah. Dengan
kasar sang ibu mengambil anak itu dari tangan Rosulullah. Ia marah
karena anaknya yang masih bayi mengotori baju Rosulullah dengan
najisnya. Saat itu Rosulullah berkata, “Wahai ibu, Najis anakmu ini
mudah untuk dibersihkan, tetapi kekeruhan jiwanya akibat kekasaranmu
sulit untuk dihilangkan”. Teringat juga betapa Rasulullah sangat sabar
terhadap kedua orang cucu beliau, Hasan dan Husein. Ketika Rasulullah
sholat, dengan sabar beliau memperlama sujudnya, agar kedua cucunya bisa
puas bermain di atas punggung beliau.
Betapa lembutnya Rasulullah memperlakukan anak-anak. Dan betapa
perhatiannya Rasulullah akan perkembangan jiwa seorang anak. Baginda
Rasulullah tahu, kekasaran seorang ibu kepada anak akan merusak
perkembangan jiwanya. Mencabut keceriaan anak akan membuat anak menjadi
pribadi yang kasar dan berjiwa sempit.
Perkembangan psikologi saat ini juga membuktikan betapa pentingnya
bersikap lembut kepada anak-anak. Kemampuan orang tua dalam memahami
keinginan anak, mengerti emosi apa yang sedang dirasakan anak, dan
berusaha menyenangkan hati anak, berefek positif dalam memupuk
kepribadian anak. Menjadikan anak sebagai seorang yang percaya diri
karena merasa diterima oleh lingkungannya.
Semoga banyak orang tua yang semakin menyadari hal ini, agar banyak
anak bisa berkembang sesuai dengan fitrahnya, ceria dan penuh percaya
diri. Menjadi pribadi yang sehat ketika dewasa nanti.
Dame: jangan
chan: panggilan khas untuk anak-anak
chan: panggilan khas untuk anak-anak
Hifizah Nur
anggota flp Jepang
0 komentar:
Posting Komentar